METABOLISME
Heme adalah gugus
prostetik yang terdiri dari atom besi
yang terdapat di tengah-tengah cincin organik heterosiklik yang luas yang disebut porfirin.
Tidak semua porfirin mengandung besi, tapi fraksi metalloprotein
yang mengandung porfirin memiliki heme sebagai gugus protetiknya; ini kemudian
dikenal sebagai hemoprotein.
Heme banyak dikenal dalam perannya sebagai komponen Hemoglobin, namun heme juga merupakan komponen
dari sejumlah hemoprotein lainnya.
Porfirin adalah senyawa siklik yang dibentuk dari gabungan empat cincin
pirol melalui jembatan metenil (-CH=). Sifat khas porfirin adalah pembentukan
kompleks dengan ion-ion logam (metaloporfirin) yang terikat pada atom nitrogen
cincin-cincin pirol. Sebagai contoh misalnya heme yang merupakan porfirin besi
dan klorofil, merupakan porfirin magnesium.
Di alam, metaloporfirin terkonjugasi dengan protein
membentuk senyawa-senyawa penting dalam proses biologi, antara lain: (1)
Hemoglobin, merupakan porfirin besi yang terikat pada protein globin dan
mempunyai fungsi penting pada mekanisme transport oksigen dalam darah;(2)
Mioglobin, merupakan pigmen pernafasan yang terdapat dalam sel-sel otot; (3)
Sitokrom, berperan sebagai pemindah elektron (electron transfer) pada proses
oksidasi reduksi.
Biosintesis Heme
Tahap-tahap Biosintesis Heme
Biosintesis heme dapat terjadi pada sebagian besar jaringan kecuali eritrosit dewasa yang tidak mempunyai mitokondria. Sekitar 85% sintesis heme terjadi pada sel-sel prekursor eritoid di sumsum tulang dan sebagian besar sisanya di sel hepar. Biosintesis heme dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu:
Tahap-tahap Biosintesis Heme
Biosintesis heme dapat terjadi pada sebagian besar jaringan kecuali eritrosit dewasa yang tidak mempunyai mitokondria. Sekitar 85% sintesis heme terjadi pada sel-sel prekursor eritoid di sumsum tulang dan sebagian besar sisanya di sel hepar. Biosintesis heme dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu:
(1) Sintesis porfirin;
(2) Sintesis heme.
Biosintesis heme dimulai di mitokondria melalui reaksi
kondensasi antara suksinil-KoA yang berasal dari siklus asam sitrat dan asam
amino glisin. Reaksi ini memerlukan piridoksal fosfat untuk mengaktivasi
glisin, diduga piridoksal bereaksi dengan glisin membentuk basa Shiff, di mana
karbon alfa glisin dapat bergabung dengan karbon karbosil suksinat membentuk
α-amino-β-ketoadipat yang dengan cepat mengalami dekarboksilasi membentuk
d-amino levulinat (ALA/AmLev). Rangkaian reaksi ini dikatalisis oleh AmLev
sintase/sintetase yang merupakan enzim pengendali laju reaksi pada biosintesis
porfirin.
AmLev yang terbentuk kemudian keluar ke sitosol. Di
sitosol 2 molekul AmLev dengan perantaraan enzim AmLev dehidratase/dehidrase
membentuk porfobilinogen yang merupakan prazat pertama pirol. AmLev dehidratase
merupakan enzim yang mengandung seng dan sensitif terhadap inhibisi oleh timbal
Empat porfobilinogen selanjutnya mengadakan kondensasi
membentuk tetrapirol linier yaitu hidroksi metil bilana yang dikatalisis oleh
enzim uroporfirinogen I sintase (porfobilinogen deaminase). Hidroksi metil
bilana selanjutnya mengalami siklisasi spontan membentuk uroporfirinogen I yang
simetris atau diubah menjadi uroporfirinogen III yang asimetris dan membutuhkan
enzim tambahan yaitu uroporfirinogen III kosintase Pada kondisi normal hampir
selalu terbentuk uroporfirinogen III.
Uroporfirinogen III selanjutnya mengalami
dekarboksilasi, semua gugus asetatny (A) menjadi gugus metil (M) membentuk
koproporfirinogen III. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim uroporfirinogen
dekarboksilase. Enzim ini juga mampu mengubah uroporfirinogen I menjadi
koproporfirinogen I.
Selanjutnya, koproporfirinogen III masuk ke dalam
mitokondria serta mengalami dekarboksilasi dan oksidasi, gugus propionat (P)
pada cincin I dan II berubah menjadi vini (V). Reaksi ini dikatalisis oleh
koproporfirinogen oksidase dan membentuk protoporfirinogen IX. Enzim tersebut
hanya bisa bekerja pada koproporfirinogen III, sehingga protoporfirinogen I
umumnya tidak terbentuk. Protoporfirinogen IX selanjutnya mengalami oksidasi
oleh enzim protoporfirinogen oksidase membentuk protoporfirin IX. Protoporfirin
IX yang dihasilkan akan mengalami proses penyatuan dengan Fe++ melalui suatu
reaksi yang dikatalisis oleh heme sintase atau ferokelatase membentuk heme.
(3) Pengendalian Biosintesis Heme
Enzim yang bertindak sebagai regulator biosintesis heme adalah AmLev sintase.
Heme yang mungkin bekerja melalui molekul aporepresor menghambat sintesis AmLev
sintase, dalam hal ini kemungkinan terjadi feed back negative. Obat yang
metabolismenya menggunakan hemoprotein spesifik di hati (sitokrom-P450)
menyebabkan konsentrasi heme intra seluler menurun. Hal ini menyebabkan represi
terhadap AmLev sintase menurun. Aktivitas AmLev sintase meningkat sehingga
sintesis heme juga meningkat. Pemberian glukosa dan hematin dapat mencegah
pembentukan AmLev sintase sehingga menurunkan sintesis heme.
Langkah awal biosintesa porfirin pada
mamalia ialah kondensasi suksinil ko-A yang berasal dari siklus asam sitrat
dalam mitokondria dengan asam amino glisin membentuk asam α amino β ketoadipat,
dikatalisis oleh χ amino levulenat sintase dan memerlukan piridoksal phosfat
untuk mengaktifkan glisin. Asam diatas segera mengalami dekarboksilasi
membentuk χ amino levulenat atau sering disingkat ALA. Enzym ALA sintase
merupakan enzym pengendali kecepatan reaksi .
Didalam sitosol 2 molekul ALA
berkondensasi dan mengalami reaksi dehidrasi membentuk porfobilinogen/PBG yang
dikatalisis oleh ALA dehidratase.
4 molekul PBG berkondensasi membentuk
hidroksi metil bilana, suatu tetrapirol linier oleh enzym uroporfirinogen I
sintase atau disebut juga PBG deaminase kemudian terjadi reaksi siklisasi
spontan membentuk uroporfirinogen, suatu tetrapirol siklik. Pada keadaan normal
uroporfirinogen I sintase adalah kompleks enzym dengan uroporfirinogen III
kosintase sehingga kerja kedua kompleks enzym tersebut akan membentuk
uroporfirinogen III, yang mempunyai susunan rantai samping asimetris. Bila
kompleks enzym abnormal atau hanya terdapat enzym sintase saja, di bentuk uroporfirinogen
I yaitu suatu bentuk isomer simetris yang tidak fisiologis.
Rangka porfirin sekarang telah terbentuk,
uroporfirinogen I atau III mengalami dekarboksilasi membentuk koproporfirinogen
I atau III dengan melepas 4 molekul CO2 hingga rantai samping asetat
pada uroporfinogen menjadi metil, reaksi ini dikatalisis oleh uroporfirinogen
dekarboksilase. Hanya koproporfirinogen III yang dapat kembali masuk
kemitokondria, mengalami dekarboksilasi dan oksidasi membentuk
protoporfirinogen III oleh enzym koproporfirinogen oksidase, dimana dua rantai
samping propionat koproporfirinogen menjadi vinil.
Protoporfirinogen III dioksidasi menjadi
protoporfirin III oleh protoporfirinogen oksidase yang memerlukan oksigen.
Protoporfirin III diidentifikasi sebagai isomer porfirin seri IX dan disebut
juga dengan protoporfirin IX. Porfirin tipe I dan III dibedakan berdasar
simetris tidaknya gugus substituen seperti asetat, propionat dan metil pada
cincin pirol ke IV.
Penggabungan besi (Fe 2+) ke
protoporfirin IX yang dikatalisa oleh Heme sintase atau Ferro katalase dalam
mitokondria akan membentuk heme.
Porfiria eritropoetik, merupakan kelainan kongenital. Terjadi karena
ketidak seimbangan enzym kompleks uroporfirinogen sintase dan kosintase. Pada
jenis porfiria ini dibentuk uroporfirinogen I yang tidak diperlukan dalam
jumlah besar. Juga terjadi penumpukan uroporfirin I, koproporfirin I dan
derivat simetris lainnya. Penyakit ini diturunkan secara otosomal resesif dan
memunculkan fenomena berupa eritrosit yang berumur pendek, urine pasien merah
karena
(4) Kimia Porfirin
Porfirin mengandung nitrogen tersier pada 2 cincin pirolen sehingga bersifat basa lemah dan adanya gugus karboksil pada rantai sampingnya menyebabkan juga bersifat asam. Titik isoelektriknya berkisar pada pH 3-4, sehingga pada pH trersebut porfirin mudah diendapkan dalam larutan air. Berbagai jenis porfirinogen tidak berwarna, sedangkan berbagai jenis porfirin berwarna. Porfirin dan derivat-derivatnya mempunyai spektrum absorbsi yang khas pada daerah yang dapat dilihat dan pada daerah ultraviolet. Larutan porfirin dalam HCl 5% mempunyai pita absorbsi pada 400 nm yang disebut pita Soret.
Porfirin mengandung nitrogen tersier pada 2 cincin pirolen sehingga bersifat basa lemah dan adanya gugus karboksil pada rantai sampingnya menyebabkan juga bersifat asam. Titik isoelektriknya berkisar pada pH 3-4, sehingga pada pH trersebut porfirin mudah diendapkan dalam larutan air. Berbagai jenis porfirinogen tidak berwarna, sedangkan berbagai jenis porfirin berwarna. Porfirin dan derivat-derivatnya mempunyai spektrum absorbsi yang khas pada daerah yang dapat dilihat dan pada daerah ultraviolet. Larutan porfirin dalam HCl 5% mempunyai pita absorbsi pada 400 nm yang disebut pita Soret.
Porfirin dalam asam mineral kuat atau pelarut organik
dan kemudian disianari sinar ultraviolet akan memancarkan fluoresensi merah
yang kuat. Sifat fluoresensi ini sangat khas sehingga sering dipakai untuk
mendeteksi porfirin bebas dengan jumlah yang sedikit. Sifat absorbsi dan
fluoresensi yang khas dari porfirin disebabkan oleh ikatan rangkap yang
menyatukan cincin pirol. Ikatan rangkap ini tidak ada pada porfirinogen
sehingga tidak menunjukkan sifat-sifat tersebut. Jika porfirinogen mengalami
oksidasi dengan melepaskan 6 atom H akan terbentuk porfirin yang mempunyai
ikatan rangkap.
(5)
Penyakit kelainan porfirin
Penyakit turunan atau bisa berupa penyakit
yang didapat yang disebabkan oleh defisiensi salah satu enzym pada jalur
biosintesa heme dan mengakibatkan penumpukan dan peningkatan porfirin atau
prazatnya dijaringan atau didalam urine. Kelainan ini jarang dijumpai tapi
perlu dipikirkan dalam keadaan tertentu misalnya sebagai diagnosa banding pada
penyakit dengan keluhan nyeri abdomen, fotosensitivitas dan gangguan psikiatri
.
Porfiria dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu :
1. Porfiria eritropoetik
2. Porfiria hepatik
3. Protoporfiria (gabungan)
Porfiria eritropoetik, merupakan kelainan kongenital. Terjadi karena
ketidak seimbangan enzym kompleks uroporfirinogen sintase dan kosintase. Pada
jenis porfiria ini dibentuk uroporfirinogen I yang tidak diperlukan dalam
jumlah besar. Juga terjadi penumpukan uroporfirin I, koproporfirin I dan
derivat simetris lainnya. Penyakit ini diturunkan secara otosomal resesif dan
memunculkan fenomena berupa eritrosit yang berumur pendek, urine pasien merah
karena ekskresi uroporfirin I dalam jumlah besar, gigi yang berfluoresensi
merah karena deposisi porfirin dan kulit ©2004 Digitized by USU digital
library 3
yang hipersensitif terhadap sinar karena
porfirin yang diaktifkan cahaya bersifat sangat reaktif .
Porfiria hepatik dibagi menjadi beberapa jenis antara lain :
- Intermitten acute porfiria ( IAP )
- Koproporfiria herediter
- Porfiria variegata
- Porfiria cutanea tarda
- Porfiria toksik
IAP terjadi karena defisiensi partial
uroporfirinogen I sintase, diturunkan secara otosomal dominan. Pada penyakit
ini dijumpai ekskresi porfobilinogen dan asam amino levulenat yang meningkat
menyebabkan urine berwarna gelap.
Koproporfiria herediter terjadi karena
defisiensi partial koproporfirinogen oksidase, diturunkan secara otosomal
dominan. Terdapat peningkatan ekskresi koproporfirinogen dan menyebabkan urine
berwarna merah.
Porfiria variegata terjadi karena
defisiensi partial protoporfirinogen oksidase, diturunkan secara otosomal
dominan. Terdapat peningkatan ekskresi hampir seluruh zat-zat antara sintesa
heme.
Porfiria cutanea tarda terjadi karena
defisiensi partial uroporfirinogen dekarboksilasi, diturunkan secara otosomal
dominan. Terdapat peningkatan ekskresi uroporfirin yang bila terpapar cahaya
menyebabkan urine berwarna merah. Porfiria ini paling sering dijumpai dibanding
yang lainnya .
Porfiria toksik atau akuisita disebabkan
oleh obat atau zat toksik seperti griseofulvin, barbiturat, heksachlorobenzene,
Pb dan sebagainya.
Protoporfiria atau protoporfiria gabungan dikarenakan terjadinya defisiensi
partial ferrokatalase, diturunkan secara autosomal dominan. Terdapat
peningkatan ekskresi protoporfirin dalam urine.
Gejala klinis yang dapat muncul dapat dikelompokkan dalam dua patogenesa yaitu
bila kelainan enzym sintesa heme menyebabkan penumpukan asam amino levulenat
dan porfobilinogen disel atau cairan tubuh akan menghambat kerja ATP ase dan
meracuni neuron sehingga menimbulkan gejala-gejala neuro-psikiatri sedangkan
bila kelainan enzym sintesa heme menyebabkan penumpukan porfirinogen dikulit
dan dijaringan lain akan teroksidasi spontan membentuk porfirin yang apabila
terpapar dengan cahaya, porfirin akan bereaksi dengan O2 molekuler
membentuk suatu radikal bebas yang sangat reaktif dan merusak jaringan atau
kulit dimana porfirin terdeposisi, peristiwa ini memunculkan gejala-gejala
fotosensitivitas.
Therapi yang dapat diberikan hanyalah
bersifat symptomatik karena therapi kausal yang bersifat genetik masih sulit
dikerjakan. Obat yang dapat dipakai dan beberapa tindakan yang dianjurkan
seperti misalnya hindari preparat atau obat yang merangsang aktifitas sitokrom
P- 450 seperti obat anestesia, alkohol, steroid dan lain-lain. Hindari zat-zat
toksik penyebab porfiria. Pemberian zat-zat seperti glukosa dan hematin yang
menekan kerja ALA sintase untuk menghambat pembentukan pra zat porfirin.
Pemberian anti oksidan seperti karoten, vitamin E dan C juga dapat dianjurkan
pemakaian tabir surya guna menggurangi pemaparan terhadap cahaya
.
Katablisme Heme Menghasilkan Bilirubin
Dalam keadaan normal, umur eritrosit sekitar 120 hari. Sehingga, sekitar
100-200 juta eritrosit dihancurkan setiap jammya. Dalam 1 hari lebih kurang 6
gram hemoglobin (untuk berat badan 70 kg) dihancurkan. Proses degradasi ini terjadi
di jaringan retikulo endothelial (limpa, hati, dan sumsum tulang), yaitu pada
bagian mikrosom dari sel retikulo endothelial.
Hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Bagian protein globin diuraikan menjadi asam amino-asam amino pembentuknya kemudian digunakan kembali. Besi akan dilepaskan dari heme kemudian memasuki depot besi yang juga dapat dipakai kembali. Sedangkan porfirinnya akan dikatabolisme dan menghasikan bilirubin.
Proses pertama dari katabolisme heme dilakukan oleh kompleks enzim heme oksigenase. Pada saat mencapai heme oksigenase besi umumnya sudah teroksidasi menjadi bentuk feri membentuk hemin. Hemin kemudian direduksi dengan NADPH, besi feri dirubah kembali menjadi fero. Dengan bantuan NADPH kembali, oksigen ditambahkan pada jembatan a metenil (antara cincin pirol I dan II) membentuk gugus hidroksil, besi fero teroksidasi kembali menjadi feri. Heme oksigenase dapat diinduksi oleh substrat. Selanjutnya, dengan penambahan oksigen lagi ion feri dibebaskan serta terbentuk karbon monoksida dan biliverdin IXa yang berwarna hijau. Pada reaksi ini heme bertindak sebagai katalisator. Pada burung dan amfibia, diekskresi biliverdin IXa. Sedangkan pada mamalia, dengan bantuan enzim biliverdin reduktase, terjadi reduksi jembatan metenil antara cincin pirol III dan IV menjadi gugus metilen, membentuk bilirubin IXa yang berwarna kuning. Satu gram hemoglobin diperkirakan menghasilkan 35 mg bilirubin. Perubahan heme menjadi bilirubin secara in vivo dapat diamati pada warna ungu hematom yang perlahan-lahan beirubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning
Hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Bagian protein globin diuraikan menjadi asam amino-asam amino pembentuknya kemudian digunakan kembali. Besi akan dilepaskan dari heme kemudian memasuki depot besi yang juga dapat dipakai kembali. Sedangkan porfirinnya akan dikatabolisme dan menghasikan bilirubin.
Proses pertama dari katabolisme heme dilakukan oleh kompleks enzim heme oksigenase. Pada saat mencapai heme oksigenase besi umumnya sudah teroksidasi menjadi bentuk feri membentuk hemin. Hemin kemudian direduksi dengan NADPH, besi feri dirubah kembali menjadi fero. Dengan bantuan NADPH kembali, oksigen ditambahkan pada jembatan a metenil (antara cincin pirol I dan II) membentuk gugus hidroksil, besi fero teroksidasi kembali menjadi feri. Heme oksigenase dapat diinduksi oleh substrat. Selanjutnya, dengan penambahan oksigen lagi ion feri dibebaskan serta terbentuk karbon monoksida dan biliverdin IXa yang berwarna hijau. Pada reaksi ini heme bertindak sebagai katalisator. Pada burung dan amfibia, diekskresi biliverdin IXa. Sedangkan pada mamalia, dengan bantuan enzim biliverdin reduktase, terjadi reduksi jembatan metenil antara cincin pirol III dan IV menjadi gugus metilen, membentuk bilirubin IXa yang berwarna kuning. Satu gram hemoglobin diperkirakan menghasilkan 35 mg bilirubin. Perubahan heme menjadi bilirubin secara in vivo dapat diamati pada warna ungu hematom yang perlahan-lahan beirubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning
.
Metabolisme Bilirubin di Hati
Metabolisme bilirubin dalam hati dibagi menjadi 3 proses:
1. Pengambilan (uptake) bilirubin oleh sel hati
2. Konjugasi bilirubin
3. Sekresi bilirubin ke dalam empedu
Pengambilan Bilirubin oleh Hati
Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma dan terikat dengan protein, terutama albumin. Beberapa senyawa seperti antibiotika dan obat-obatan bersaing dengan bilirubin untuk mengadakan ikatan dengan albumin. Sehingga, dapat mempunyai pengaruh klinis. Dalam hati, bilirubin dilepaskan dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid dari hepatosit melalui suatu sistem transport berfasilitas (carrier-mediated saturable system) yang saturasinya sangat besar. Sehingga, dalam keadaan patologis pun transport tersebut tidak dipengaruhi. Kemungkinan pada tahap ini bukan merupakan proses rate limiting.
Konjugasi Bilirubin
Dalam hati, bilirubin mengalami konjugsi menjadi bentuk yang lebih polar sehingga lebih mudah diekskresi ke dalam empedu dengan penambahan 2 molekul asam glukoronat. Proses ini dikatalisis oleh enzim diglukoronil transferase dan menghasilkan bilirubin diglukoronida. Enzim tersebut terutama terletak dalam retikulum endoplasma halus dan menggunakan UDP-asam glukoronat sebagai donor glukoronil. Aktivitas UDP-glukoronil transferase dapat diinduksi oleh sejumlah obat misalnya fenobarbital.
Metabolisme bilirubin dalam hati dibagi menjadi 3 proses:
1. Pengambilan (uptake) bilirubin oleh sel hati
2. Konjugasi bilirubin
3. Sekresi bilirubin ke dalam empedu
Pengambilan Bilirubin oleh Hati
Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma dan terikat dengan protein, terutama albumin. Beberapa senyawa seperti antibiotika dan obat-obatan bersaing dengan bilirubin untuk mengadakan ikatan dengan albumin. Sehingga, dapat mempunyai pengaruh klinis. Dalam hati, bilirubin dilepaskan dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid dari hepatosit melalui suatu sistem transport berfasilitas (carrier-mediated saturable system) yang saturasinya sangat besar. Sehingga, dalam keadaan patologis pun transport tersebut tidak dipengaruhi. Kemungkinan pada tahap ini bukan merupakan proses rate limiting.
Konjugasi Bilirubin
Dalam hati, bilirubin mengalami konjugsi menjadi bentuk yang lebih polar sehingga lebih mudah diekskresi ke dalam empedu dengan penambahan 2 molekul asam glukoronat. Proses ini dikatalisis oleh enzim diglukoronil transferase dan menghasilkan bilirubin diglukoronida. Enzim tersebut terutama terletak dalam retikulum endoplasma halus dan menggunakan UDP-asam glukoronat sebagai donor glukoronil. Aktivitas UDP-glukoronil transferase dapat diinduksi oleh sejumlah obat misalnya fenobarbital.
Sekresi
Bilirubin yang sudah terkonjugasi akan disekresi kedalam empedu melalui mekanisme pangangkutan yang aktif dan mungkin bertindak sebagai rate limiting enzyme metabolisme bilirubin. Sekeresi bilirubin juga dapat diinduksi dengan obat-obatan yang dapat menginduksi konjugasi bilirubin. Sistem konjugasi dan sekresi bilirubin berlaku sebagai unit fungsional yang terkoordinasi.
Metabolisme Bilirubin di Usus
Setelah mencapai ileum terminalis dan usus besar bilirubin terkonjugasi akan dilepaskan glukoronidanya oleh enzim bakteri yang spesifik (b-glukoronidase). Dengan bantuan flora usus bilirubin selanjutnya dirubah menjadi urobilinogen.
Urobilinogen tidak berwarna, sebagian kecil akan diabsorpsi dan diekskresikan kembali lewat hati, mengalami siklus urobilinogen enterohepatik. Sebagian besar urobilinogen dirubah oleh flora normal colon menjadi urobilin atau sterkobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan melalui feces. Warna feces yang berubah menjaadi lebih gelap ketika dibiarkan udara disebabkan oksidasi urobilinogen yang tersisa menjadi urobilin.
Bilirubin yang sudah terkonjugasi akan disekresi kedalam empedu melalui mekanisme pangangkutan yang aktif dan mungkin bertindak sebagai rate limiting enzyme metabolisme bilirubin. Sekeresi bilirubin juga dapat diinduksi dengan obat-obatan yang dapat menginduksi konjugasi bilirubin. Sistem konjugasi dan sekresi bilirubin berlaku sebagai unit fungsional yang terkoordinasi.
Metabolisme Bilirubin di Usus
Setelah mencapai ileum terminalis dan usus besar bilirubin terkonjugasi akan dilepaskan glukoronidanya oleh enzim bakteri yang spesifik (b-glukoronidase). Dengan bantuan flora usus bilirubin selanjutnya dirubah menjadi urobilinogen.
Urobilinogen tidak berwarna, sebagian kecil akan diabsorpsi dan diekskresikan kembali lewat hati, mengalami siklus urobilinogen enterohepatik. Sebagian besar urobilinogen dirubah oleh flora normal colon menjadi urobilin atau sterkobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan melalui feces. Warna feces yang berubah menjaadi lebih gelap ketika dibiarkan udara disebabkan oksidasi urobilinogen yang tersisa menjadi urobilin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar